Perasaan tegang menjelang ujian sering terjadi pada anak-anak, bahkan ada pula yang
sakit akibat ketegangan yang berlebihan. Hal ini menjadi hal sangat penting
untuk dicermati agar proses pendidikan anak di sekolah dapat berjalan dengan
baik dan lancar. Jika setiap menjelang pelaksanaan ujian selalu dibarengi
dengan rasa was-was, khawatir dan takut tidak bisa mengerjakan soal menghantui
perasaan anak, maka proses pertumbuhan dan perkembangan anak akan terganggu
pula. Hal umum yang menjadi pemicu stress siswa, ialah,
Pertama, kebiasaan belajar yang tidak teratur. Kebiasaan siswa belajar hanya jika diberi tugas di rumah. Memaknai belajar hanya bila ada Pekerjaan Rumah (PR). Belajar belum menjadi kebutuhan untuk mengulangi dan mengembangkan pemahaman tentang materi yang baru dipelajarinya. Hal kronis yang seharusnya menjadi perhatian orang tua. Pertanyaan yang dilontarkan kepada anak menjadi salah kaprah, “Sudah ngerjakan PR?”, “Mau main ?, kerjakan PR mu dulu”, dan lain sebagainya. Pertanyaan tersebut membentuk pemahaman anak, kalau tak ada PR, ya tak perlu belajar. Tidak dibuat jadwal tertulis yang ditempel dan dapat dibaca oleh anak, menyebabkan anak tidak memiliki pengingat untuk belajar.
Kedua, bermain lebih dominan, memang dunia anak adalah dunia main, bahkan orang tua perlu juga mendampingi anak saat bermain. Hal ini berlaku bagi siswa yang tinggal serumah dengan orang tua. Tetapi jika siswa tinggal di pesantren, maka ketua kamar atau ustadz dapat menjadi peran pengganti orang tua yang mendampingi siswa di pesantren. Durasi bermain yang terlalu lama, menyebabkan anak terkadang lupa waktu untuk membagi waktu dengan kegiatan lain. Ketidakmampuan siswa untuk membagi waktu disebabkan kebiasaan bermain tanpa batasan waktu, sehingga kegiatan harian yang ingin dilakukan hanyalah bermain dan terus bermain.
Ketiga, tekanan dari orang tua. Orang tua yang tidak dapat
mengendalikan rasa khawatir terhadap anaknya yang akan melaksanakan ujian,
biasanya akan melakukan tekanan kepada anak. Memaksa anak untuk selalu belajar,
tanpa memperhatikan jadwal dan waktu. Sebagian besar orang tua terobsesi untuk
memiliki anak dengan segudang prestasi, memberikan tekanan-tekanan tanpa
memperhatikan perasaan anak. Selesai sekolah, harus ikut les privat, sore harus
ikut les piano dan musik, malam hari sebelum tidur harus belajar, selesai
belajar langsung tidur, tidak ada main, tidak boleh ini tidak boleh itu. Betapa
beban anak karena obsesi orang tua yang tidak mengukur kemampuan. Memang ada
yang akhirnya mendapatkan hasil prestasi yang tinggi, tapi masa-masa anak untuk
menikmati dunia mereka terampas oleh egoisme orang tua. Menjelang ujian, anak
akan didoktrin, awas kalau nilaimu jelek, takkan kubelikan ini dan itu, jangan
harap ada makan enak di rumah, jangan harap kamu bisa main, jangan, jangan dan
jangan. Ancaman, ancaman dan ancaman setiap waktu. Semakin anak menanggung
tekanan ratusan ton di pundak mereka.
Keempat, lingkungan keluarga yang tidak nyaman. Perselisihan antar anggota keluarga menyebabkan anak tidak nyaman tinggal di dalam rumah. Perselisihan dapat terpicu akibat ketidakharmonisan orang tua, sikap orang tua yang membeda-bedakan dan membanding-bandingkan antara anak, teladan orang tua yang tidak mencerminkan akhlakul karimah atau sifat-sifat terpuji serta kehidupan keluarga yang jauh dari agama. Menyebabkan sikap liberal, “elo elo..!, gue gue..!” , tidak ada rasa simpati dan empati di antara anggota keluarga, merasa mereka hanya akan peduli dengan diri sendiri.
Solusi dari itu semua menurut Surti Ariani, Psikolog Anak dan Keluarga dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI memberikan solusi untuk melepaskan ketegangan anak, bisa dengan diskusi bersama anak, bagaimana cara mengelola waktu belajar sekaligus bermain. Maka anak tetap akan bisa belajar dan memanfaatkan waktu bermain dan bergaul dengan teman-temannya. Jangan meletakkan harapan tinggi pada anak. Orang tua yang bijak tidak akan menargetkan anaknya mencapai nilai sempurna, tetapi mengajarkan mereka untuk menghargai sebuah proses. Berbincang dengan anak dan memberikan motivasi agar tumbuh kepercayaan dan keberanian dalam diri anak. Dan orang tua harus mengendalikan diri agar hak bermain anak tidak terampas oleh egoisme orang tua.